Selasa, 22 April 2008

psikologi menurut William James

Psikologi pendidikan menurut William James
William James, pelopor keilmuan psikologi dari Amerika Serikat, menyatakan setiap individu tentu memahami terminologi atensi. Pengendalian pikiran (mind) pada satu pemikiran (thought) secara jelas dan jernih, dari sekian banyak ragam pemikiran yang dapat terjadi secara simultan. Intinya adalah pemusatan atau konsentrasi kesadaran. Hal ini mengimplikasikan penarikan perhatian dari suatu hal, untuk menangani hal lain secara efektif (James 1890: 403-404). Studi tentang pemilihan pemrosesan informasi, penarikan atensi dari beragam hal guna memperhatikan hal lain secara lebih efektif, juga diuraikan pada referensi "Perception and Communication" yang ditulis pada tahun 1958 oleh D. E. Broadbent. Secara umum, kebanyakan riset mengenai hal ini dapat dikelompokan sebagai riset tentang "atensi", walaupun berbagai permasalahan yang berkenaan dengan pemrosesan informasi selektif tentu tidak selalu dapat diidentikan dengan pemikiran pribadi William James tentang kesadaran selektif.
Bahkan pada kenyataannya banyak aspek dari selektifitas berkenaan dengan pengorganisasian suatu aktifitas yang difokuskan. Di setiap saat, individu secara aktif berusaha mencapai satu dari berbagai tujuan. Beberapa aktifitas, dibandingkan yang lainnya, dapat lebih mendekatkannya pada pencapaian tujuan. Sebagian dari input sensorik relevan dan perlu dievaluasi lebih lanjut. Kondisi umum seperti siaga atau mengantuk juga dapat dianggap sebagai aspek "atensi". Pada “Perception dan Communication”, suatu alat tertentu digunakan untuk meneliti berbagai fenomena; pendengaran selektif, menurunnya performa karena durasi kerja yang lama, kerusakan karena suara yang keras dan lainnya. Temuan ini kemudian diperkuat lagi pada referensi "Decision and Stress" masih dari D. E. Broadbent, 1971.
Persepsi selektif pada beragam modalitas (pengindraan) telah diteliti secara seksama dalam periode belakangan. Eksperimen berkenaan dengan pendengaran selektif yang dilakukan pada dekade 1950-an berkenaan dengan partisipan mendengarkan dua pesan berbeda secara simultan. Beragam eksperimen ini merefleksikan beberapa hal; (1) indikasi kapasitas manusia yang terbatas, partisipan sering kali tidak mampu mengidentifikasi dua pesan pada saat bersamaan, (2) indikasi kondisi pemilihan efektif: partisipan mampu mengidentifikasi satu pesan dan mengabaikan pesan lainnya, ketika terdapat perbedaan karakteristik fisikal; seperti lokasi, intensitas atau warna suara. Namun kemampuan ini tidak muncul ketika kedua pesan hanya berbeda pada segi konten, (3) indikasi konsekuensi dari seleksi efisien: individu mendengarkan satu pesan dan mengabaikan pesan yang lain mampu melaporkan karakteristik paling mendasar dari pesan yang diabaikan; contohnya ketika perkataan diubah menjadi nada. Namun kembali lagi gagal membedakan apakah perkataan yang disampaikan akrab di telinga atau tidak.
Ketiga indikasi tersebut telah memiliki studi lanjutan. Referensi dari Treisman dan Davies 1973 berkenaan dengan keterbatasan kapasitas persepsi adalah salah satunya. Eksperimen menggunakan perpaduan stimulus, visual dan audio, menunjukan bahwa batas utama persepsi simultan, sangat terkait dengan keunikan modalitas: stimulus visual dan audio yang terjadi saat bersamaan dapat diidentifikasi lebih baik dibandingkan dua stimulus dengan modalitas yang sama (visual dan visual / audio dan audio). Berkenaan dengan pengendalian pemilihan stimulus, terdapat pula eksperimen yang menunjukan pengaruh gabungan dari pendekatan atas-bawah (terkait aktifitas) dan bawah-atas (terkait stimulus). Pendekatan atas-bawah terjadi ketika individu diintruksikan untuk memperhatikan hanya pada objek di bagian tertentu dari modalitas visual (pemilihan didasarkan pada lokasi), objek yang memiliki warna tertentu atau karakteristik lainnya (pemilihan didasarkan pada karakteristik) atau objek yang memiliki kategori tertentu (contohnya huruf dibandingkan angka) (von Wright 1968). Pemilihan berdasar lokasi (perhatian spasial) telah dipelajari secara seksama oleh (Posner, 1978). Terlepas dari aktifitas atau instruksi, faktor dari stimulus seperti intensitas (Broadbent, 1958) atau kemunculan secara mendadak (Jonides dan Yantis, 1988), juga mempengaruhi pemilihan stimulus. Pelatihan yang intensif berkenaan dengan stimulus tertentu, memudahkan pemilihan persepsi (Moray, 1959). Banyak program didesain untuk melatih pemilihan stimulus yang secara umum melatih daya konsentrasi misalnya Prima Focus, program pelatihan yang didesain oleh Prima Study - Education, Training & Consultancy. Adapun salah seorang fasilitator utama dari program ini adalah Yovan P. Putra.
Berkenaan dengan hasil dari pemilihan efektif, eksperimen telah menguraikan berbagai hal yang berbeda pada pemrosesan stimulus, baik yang diperhatikan maupun yang diabaikan. Seringkali, sangat sedikit yang dapat diingat secara eksplisit oleh individu berkenaan dengan stimulus yang diinstruksikan untuk diabaikan, walaupun stimulus tersebut sangat jelas terdengar atau terlihat (Wolford dan Morrison 1980). Sebaliknya, pengukuran tidak langsung mengindikasikan keberadaan pemrosesan bawah sadar (non-conscious processing) atau tersembunyi; contohnya kata yang diabaikan yang sebelumnya diasosiasikan dengan kejutan, menghasilkan Galvanic Skin Response, walaupun partisipan gagal menyadari keberadaannya (Corteen dan Dunn 1974). Karakteristik dan durasi dari pemrosesan implisit dari informasi yang tidak diperhatikan masih menjadi topik perdebatan, seperti yang diindikasikan pada fenomena memori implisit atau eksplisit.
Berbagai penelitian di atas memunculkan beragam pertanyaan berkenaan dengan pemrosesan selektif, misalnya pertanyaan mengenai atensi yang terbagi (divided attention); seberapa banyak pembagian yang dapat dilakukan pada satu saat. Pertanyaan lainnya berkenaan dengan atensi selektif (selective attention); seberapa efisiennya stimulus yang diinginkan dapat diproses dan stimulus yang tidak diinginkan dapat diabaikan. Berbagai eksperimen tersebut memberikan pengukuran terhadap penciptaan prioritas selektif (selective priority) berkenaan dengan format atensi dan pengubahan (switching). Sebagai tambahan, terdapat pula atensi penunjang (sustained attention), kemampuan mempertahankan satu pemrosesan selama durasi tertentu, seperti yang ditunjukan pada fenomena meditasi yang dilakukan para yogi atau praktisi spriritualisme lainnya.
Tinjauan keilmuan neurobiology dari atensi visual merupakan topik penelitian yang sangat menarik. Pada otak primata, informasi visual didistribusikan pada jejaring yang berkenaan dengan area kortikal, yang bertanggung jawab terhadap pemisahan fungsi visual dan berkenaan pula dengan sebagian dari dimensi visual seperti bentuk, gerakan dan warna (Desimone dan Ungerleider 1989). Secara keseluruhan "daerah visual" melingkupi secara umum daerah tertentu dari bagian serebral belakang (posterior cerebral hemisphere). Perekaman pada sel tunggal di beberapa area visual kera menunjukan respon yang lemah atau diminimalkan terhadap stimulus yang mana didisain untuk diabaikan (Moran dan Desimone 1985). Pengukuran aktifitas elektrik keseluruhan pada otak manusia dan perubahan yang terhubung pada aliran darah di serebral lokal, juga mengindikasikan respon yang lebih besar pada stimulus yang diperhatikan dibandingkan pada stimulus yang diabaikan (Heinze et al. 1994). Kerusakan pada satu bagian otak melemahkan representasi dari stimulus pada bagian yang berlawanan dengan medan pengelihatan. Fenomena tersebut dapat dideteksi ketika masing-masing stimulus disajikan secara terpisah, namun tidak terdeteksi ketika stimulus disajikan bersamaan (Bender 1952). Seluruh hasil ini menunjukan bahwa input visual secara bersamaan saling bersaing mendapat representasi di jejaring area visual (Desimone dan Duncan 1995). Stimulus yang diperhatikan direpresentasikan lebih kuat, sementara stimulus yang tidak diinginkan respon terhadapnya ditekan.
Tambahan selain persepsi selektif adalah aktifasi selektif atas tujuan atau komponen dari rencana kerja. Kembali lagi, di sini juga kesalahan mengindikasikan adanya keterbatasan kapasitas atau kesulitan mengorganisasi dua jenis pemikiran atau aktifitas secara simultan. Setiap saat, kekeliruan aktifitas, seperti pergi ke dapur ketika individu ingin mandi atau mengambil piring ketika individu ingin minum, dapat terjadi ketika pikiran didominasi oleh pemikiran lain (Reason dan Mycielska 1982). Kembali lagi, peran latihan sangat penting untuk mengatasi hal ini. Walaupun tidak dimungkinkan untuk mengorganisasi dua aktifitas yang tidak akrab (familiar) pada saat bersamaan, aktifitas akrab nampaknya terjadi secara otomatis, membiarkan atensi dalam hal ini bebas untuk berkutat hal yang lain. Aktifitas akrab dapat terjadi tanpa disadari (involunteer) sehingga terkadang terjadi pada saat yang tidak tepat. Kembali lagi berbagai kekeliruan aktifitas memberikan ilustrasi yang sangat jelas seperti berjalan ke arah yang akrab padahal ingin menuju ke tempat yang berbeda atau mengambil kunci ketika berada di depan pintu rumah tetangga (James 1890). Secara klinis hal ini dikenal sebagai efek Stroop. J. R. Stroop pada tahun 1935 melakukan eksperimen dimana melibatkan partisipan menamai warna dari kata yang tertulis (umumnya kata yang tertulis merupakan nama warna seperti "merah", "kuning" dan lainnya). Pengidentifikasian warna dapat dipengaruhi oleh tendensi pembacaan kata yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya berkenaan dengan efek Stroop, perhatikan ilustrasi berikut. Hasil tersebut menunjukan suatu model di mana aktifitas yang memiliki tendensi konflik berkompetisi untuk aktifasi. Dengan pelatihan, seperti Prima Focus atau program lainnya, daya kompetisi suatu aktifitas dapat lebih ditingkatkan, misalnya kemampuan memfokuskan pada pembacaan buku sementara mengabaikan suara bising di sekitar.
Ilustrasi Efek Stoop (2)
Prilaku yang tidak teratur dan kekeliruan aktifitas dapat terjadi sering kali ketika terdapat kerusakan pada lobus frontal (frontal lobes) otak seperti yang diungkapkan oleh Alexander Luria, seorang psikolog Rusia, pada tahun 1966. Kekacauan dapat berwujud dalam berbagai bentuk; aktifitas pengusik yang tidak relevan dengan aktifitas yang sedang dilakukan, pengulangan yang intensif dari aktifitas pengusik, pemilihan yang tidak biasa, seperti yang dicontohkan oleh aktifitas pergi ke dapur ketika individu yang bersangkutan sebenarnya ingin mandi. Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah bagaimana pemilihan aktifitas dapat berkembang dari gabungan aktifitas pada berbagai sistem lobus frontal (frontal lobes).
Pada beberapa kasus, tentunya, dapat dikatakan berbagai aspek atensi terpisah antara satu dengan yang lainnya. Contohnya, seperti yang telah didokumentasikan mengani berbagai bentuk kompetisi yang nyata atau interferensi satu aktifitas oleh aktifitas yang lainnya. Hal ini meliputi pula kompetisi pemahaman pada modalitas spesifik, respon yang terkait dengan penyebab dan representasi mental yang serupa (misal dua representasi spasial atau verbal, seperti yang diungkapkan oleh A. Baddeley 1986); walaupun terdapat pula penyebab umum dari interfensi bahkan pada aktifitas yang tidak serupa, seperti yang ditulis oleh Bourke, Duncan dan Nimmo-Smith pada tahun 1996. Setiap aspek dari kompetisi merefleksikan cara yang unik dari sistem saraf dalam memilih satu proses mental dibandingkan yang lain.
Pada saat yang bersamaan, selektifitas di berbagai domain mental perlu sepenuhnya terintegrasi guna melakukan aktifitas yang bertujuan dan koheren (Duncan 1996). Terdapat pula suatu bentuk fungsi "eksekutif" mental yang mengambil alih kendali pengkoordinasian aktifitas mental, seperti yang diungkapkan oleh A. Baddeley, 1986; misalnya untuk menjamin bahwa tujuan yang sebenarnya, aksi dan pemahaan input terintegrasikan bersama. Dengan kata lain ketika anda membaca buku, tujuan untuk memahami isi buku, aktifitas pembacaan dan pemahaman yang didapatkan terintegrasi secara sempurna. Penngintegrasian ini perlu dilakukan semenarik mungkin sehingga pikiran memprioritaskan perhatian, mungkin melalui suatu pengaturan yang unik. Melalui analogi model "relaksasi" dari berbagai proses mental (McCleland dan Rumelhart 1981), material terpilih pada satu domain mental (contohnya tujuan aktif, pemahaman input, material dari memori) dapat mendukung pemilihan material pada domain lain. Deskripsi pendekatan atas-bawah yang disajikan sebelumnya, sebagai contohnya, mengimplikasikan bahwa tujuan mengendalikan pemilihan pemahaman; serupa dengan tujuan aktif dapat dibalikkan oleh input pemahaman baru, seperti ketika telepon berbunyi atau teman melintas di jalan. Pendekatan manapun yang diambil, aspek sentral dari "atensi" merupakan hal yang berkenaan dengan koordinasi mental.
[sunting] Referensi
Baddeley, A. D. (1986). Working Memory. Oxford: Oxford University Press.
Bender, M. B. (1952). Disorder in Perception. Springfield, IL: Charles C. Thomas.
Bourke, P. A., J. Duncan, dan I. Nimmo-smith. (1996). A general factor involved in dual task performance decrement. Quarterly Journal of Experimental Psychology 49A: 525 – 545.
Broadmbent, D. E. (1958). Perception and Communication. London: Pergamon.
Broadmbent, D. E. (1971). Decision and Stress. London: Academic Press.
Corteen, R. S., dan D. Dunn (1974). Shock-associated words in a nonattended message: a test for momentary awareness, Journal of Experimental Psychology 102: 1143 – 1144
Desimone, R., dan L. G. Underleider. (1989). Neural mechanisms of visual processing in monkeys. In F. Boller and J. Grafman, Eds., Handbook of Neuropsychology, vol. 2. Amsterdam: Elsevier, pp. 267 – 299.
Desimone, R., dan J. Duncan. (1995). Neural mechanisms of selective visual attention. Annual Review of Neuroscience 18: 193 – 222
Duncan, J. (1996). Cooperating brain systems in selective perception and action. In T. Inui dan J. L. McClelland, Eds., Attention and Performance XVI. Cambridge, MA: MIT Press, pp. 549-578.
Heinze, J. J. et al., (1994). Combined spatial and temporal imaging of brain activity during visual selective attention in humans. Nature 372: 543 - 546
James, W. (1890). The Principles of Psychology. New York: Holt.
Jonides, J., dan S. Yantis. (1988). Uniqueness of abrupt visual onset in capturing attention. Perception and Psychophysics 43: 346-354
Luria, A. R. (1966). Higher Cortical Function In Man. London: Tavistock
McCleland, J. L., dan D. E. Rumelhart. (1981). An interactive activation model of context effects in letter perception: Part 1. An account of basic findings. Psychological Review 88: 375-407.
Moran, J., dan R. Desimone (1985). Selective attention gates visual processing in the extratriate cortex. Science 229: 782-784.
Moray, N. (1959). Attention in dichotic listening: affective cues and the influence of instructions. Quarterly Journal of Experimental Psychology 11: 56 – 60
Posner, M. I. (1978). Chronometric Explorations of Mind. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Reason, J., dan K. Mycielska. (1982). Absent-minded? The Psychology of Mental Lapses and Everyday Errors. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Stroop, J. R. (1935). Studies of interference in serial verbal reactions. Journal of Experimental Psychology 18: 643-662.
Treisman, A. M., dan A. Davies. (1973). Divided attention to ear and eye. In S. Kornblum, Ed., Attention and Performance IV. London: Academic Press, pp. 101-117.
Von Wright, J. M. (1968). Selection in visual immediate memory. Quarterly Journal of Experimental Psychology 20: 62-68 Wolford, G., dan F. Morrison. (1980). Processing of unattended visual information

teori pelajar konstruktivisme

Proses pembelajaran pada anak usia dini pada umumnya dilandasi oleh dua teori belajar, yaitu (1) behaviorisme, dan (2) konstruktivisme. Kedua aliran teori tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya, aliran behaviorisme menekankan pada hasil dari proses belajar, dan aliran konstrukvisme menekankan pada proses belajar.1. Teori Belajar Behaviorisme.Menurut Conny (2002) Behaviorisme adalah aliran psikologi yang memandang bahwa manusia belajar dipengaruhi oleh lingkungan. Belajar menurut teori ini merupakan perubahan perilaku yang terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanis.Oleh karena itu, lingkungan yang sistematis, teratur dan terencana dapat memberikan pengaruh (stimulus) yang baik sehingga manusia bereaksi terhadap stimulus tersebut dan memberikan respon yang sesuai. Ahli yang menganut faham ini antara lain Thorndike, Watson, Pavlop dan Skinner.Thorndike, mengemukakan bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus dalam hal ini dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berwujud sesuatu yang kongkret yang tidak bisa diamati. Watson, stimulus dan respon tersebut memang harus dapat diamati, meskipun perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting, namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut sudah terjadi apa belum. Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada anak.Pavlov mengemukan melalui teorinya classical conditioning, bahwa hampir semua organisme perilakunya terjadi secara refleks dan dibatasi oleh rangsangan sederhana. Classical conditioning mempersyaratkan adanya dua stimulus yang berpasangan, yaitu stimulus yang dinamakan stimulus berkondisi (conditioned stimulus) dan stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus). Hasilnya adalah dimulai dari respon tidak terkondisi, untuk selanjutnya menjadi respon terkondisi. Dengan demikian disimpulkan bahwa stimulus tidak bersyarat dapat menghasilkan reson atau tanggapan tak bersyarat dan stimulus tambahan yaitu stimulus terkondisi akan menghasilkan respon baru yaitu respon atau tanggapan terkondisi.Skinner, terkenal dengan teori operant conditioning, beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya. Kalau konsekuensinya menyenangkan makan hal tersebut akan diulanginya lagi. Belajar adalah kondisi yang diakibatkan oleh suatu perbuatan yang menghadirkan perbuatan tersebut kembali dilakukan. Misalnya seseorang anak melakukan suatu perbuatan dan mendapat pujian guru, maka si anak akan melakukan perbuatan yang sama dan ingin mendapat pujian kembali (positive reinforcement). 2. Teori Belajar KonstruktivismeBahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Dalam prakteknya teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” dikemukanan oleh Jean Piaget dengan belajar bermakna “dan “belajar penemuan secara bebas” oleh Jerome Bruner.Conny (2002) menyatakan bahwa belajar adalah membangun (to construct) pengetahuan itu sendiri, setelah difahami, dicernakan dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang (from within).Jean PiagetPiaget penganut faham kongnitifistik, menyatakan bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak anak, (2) akomodasi, adalah penyusunan struktur kofnitif ke dalam situasi yang baru, dan (3) equalibrasi, adalah penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized).Menurut Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui anak, yang dalam hal ini dibagi menjadi empat tahapan, yaitu (a) tahap sensori-motor (ketika anak berumur 0-2 tahun), (b) tahap pra-operasional (2 sampai 7 tahun), (c) tahap operasional kongkrit (7-11 tahun), dan (d) tahap operasional formal (11-18 tahun).AusubelMenurutnya Ausubel bahwa anak akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “Pengatur kemajuan (belajar)” didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada anak. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada anak.Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yaitu, (1) dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh anak, (2) dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipeajari anak “saat ini” dengan apa yang “akan di[elajari” anak saat yang akan dating, (3) guru mampu membantu anak untuk memahami sesuatu secara lebih mudah. Tanpa logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran.Jerome BrunerTeorinya dikenal dengan “Free discovery learning”. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada anak untuk menemukan sesuatu aturan melalui contoh-contoh yang digambarkan atau yang menjadi sumbernya.Dengan perkataan lain, anak dibimbing dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus (deduktif) menuju yang paling kompleks (induktif), memahami konsep “kejujuran” bukanya konsep yang lebih dahulu diajarkan, akan tetapi contoh-contoh kongkrit dari kejujuran itu sendiri.Bruner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Misalnya teori belajar yang memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan materi penjumlahan. STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINIStrategi pembelajaran merupakan hal yang perlu diperhatikan guru dalam proses pembelajaran anak usia dini. Paling tidak ada tiga jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni (1) strategi pengorganisasian pembelajaran, (2) strategi penyampaian pembelajaran, dan (3) strategi pengelolaan pembelajaran.Uraian mengenai strategi penyampaian pengajaran menekankan pada media apa yang dipakai untuk menyampaikan pengajaran, kegiatan belajar apa yang dilakukan siswa, dan dalam struktur belajar mengajar yang bagaimana. Strategi pengelolaan menekankan pada penjadwalan penggunaan setiap komponen strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pengajaran, termasuk pula pembuatan catatan tentang kemajuan belajar siswa.Strategi pembelajaran untuk anak usia dini hendaknya menantang dan menyenangkan, melibatkan unsur bermain, bergerak, bernyanyi, dan belajar. Beberapa strategi yang sering digunakan untuk pembelajaran anak usia dini antara lain :Cicle TimePada strategi pembelajaran ini kegiatan anak-anak duduk melingkar dan guru berada di tengah lingkaran. Berbagai kegiatan, seperti membaca puisi, bermain peran, bernyanyi, mengaji, atau bercerita, dan sebagainya.Sistem KalenderPembelajaran dihubungkan dengan kalender dan waktu. Guru menandai tanggal-tanggal pada kalender yang terkait dengan berbagai kegiatan, seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kartini, Hari Pendidikan Nasional, Hari Pahlawan dan Hari Besar Nasional dan Hari Besar Agama seperti Hari Raya Aidil Fitri, Bulan Ramadhan, Hari Natal, Hari Nyepi, Waisyak, dan sebagainya. Selanjutnya guru harus mendesain kegiatan belajar dengan menggunakan tema-tema sesuai dengan hari tersebut, misalnya Hari Kartini, anak-anak memakai pakaian kebaya, dll.3. Show and Tell Metode ini baik digunakan untuk mengungkapkan kemampuan, perasaan, dan keinginan anak untuk bercerita apa saja yang ingin diungkapkannya. Saat anak bercerita guru dapat melakukan asesmen untuk mengetahui perkembangan anak tersebut. Guru dapat melanjutkan topik yang dibicarakan anak tersebut untuk pembelajaran. Biasanya banyak anak mengungkapkan perasaannya melalui metode ini. Suatu penelitian dilakukan Australia melalui show and tell. Setiap anak ditawari boneka Teddy Bear untuk dibawa pulang selama satu-dua minggu. Lalu di minggu berikutnya setiap anak secara bergiliran diminta menceritakan apa yang ia lakukan dengan Teddy Bear-nya. Ternyata anak-anak mampu bercerita dengan baik banyak hal yang ia lakukan selama satu minggu.4. Small Project Metode ini melatih anak bertanggungjawab untuk mengerjakan proyeknya. Proyek merupakan kegiatan investigasi dan penemuan dari suatu topik yang memiliki nilai penting bagi anak (Katz, 2004). Investigasi ini biasanya dikerjakan dalam kelompok kecil 3-4 orang atau secara individual. Setiap kelompok diberi proyek kecil, misalnya menemukan berbagai jenis daun yang khas di daerahnya dan mengecapnya dengan berbagai warna di sehelai kertas manila. Jadi proyek merupakan kegiatan investigasi dan penemuan, bukan semata-mata untuk menemukan satu jawaban yang benar dari suatu persoalan. Metode ini melatih anak bekerjasama, bertanggungjawab, dan mengembangkan kemampuan sosial. Edwards et al (1993) melaporkan bahwa proyek kelompok telah diterapkan dan berhasil baik di Regio Emilia, setara TK di Italia.Metode Proyek memiliki tiga fase: (1) Pendahuluan, (2) Penemuan, (3) presentasi (Katz & Chard, 1989). Pada fase Pendahuluan, guru menyampaikan topik dan persoalan. Topik dan persoalan hendaknya menarik dan familier bagi anak. Anak-anak diajak untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang terkait dengan persoalan tersebut. Sebagai contoh pada saat makan kentang goreng, guru mengajukan persoalan bagaimana cara menanam kentang. Anak-anak mencoba menjawab dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.Fase kedua ialah fase Penemuan. Guru menyediakan kentang dan anak-anak secara berkelompok mencoba menanam kentang dengan berbagai cara. Anak-anak memberi air dan mengamati pertumbuhan kentangnya.5. Kelompok Besar (Big Team) Metode ini menggunakan kelompok besar, yaitu satu kelas penuh untuk membuat sesuatu. Misalnya untuk mendirikan tenda yang besar di dalam kelas, semua anak memegang peran, guru bertugas memberi aba-aba. Anak biasanya amat puas setelah sesuatu berhasil dikerjakan bersama-sama.6. Kunjungan Anak sangat senang melihat langsung berbagai kenyataan yang ada di masyarakat melalui kunjungan. Kegiatan kunjungan memberi gambaran bagi anak akan dunia kerja, dunia orang dewasa sehingga mendorong anak untuk mengembangkan cita-cita. Banyak orang menjadi pilot karena diajak orangtuanya melihat pameran dirgantara, mengunjungi museum pesawat terbang, atau karena diajak naik pesawat terbang. Berbagai kegiatan kunjungan seperti ke Museum Perjuangan, Museum Dirgantara, Perpustakaan, Kepolisian, Dinas Pemadam kebakaran memberi inspirasi anak untuk mengembangkan cita-citanya (learning to be), misalnya untuk menjadi Polisi, TNI, Pemadam Kebakaran, Pilot, dan sebagainya. Kunjungan merupakan hal yang menyenangkan bagi anak. Museum dirgantara merupakan salah satu tempat yang disukai anak. Anak dapat naik pesawat, menggambar pesawat, dan mendengarkan cerita tentang pilot. Siapa tahu akan banyak anak yang bercita-cita jadi pilot.7. PermainanPermainan yang menarik dan tidak banyak aturan pada umumnya disukai anak-anak. Guru dapat menggunakan permainan untuk membelajarkan anak. Caranya, guru mengajarkan permainan tersebut kepada anak. Setelah anak mampu memainkannya, guru menambahkan muatan edukatif pada permainan tersebut, sehingga secara tidak langsung anak belajar. Berbagai jenis permainan, seperti Gobag so dor (go back to door), Suda-manda, Petak-umpet, dan bermain peran amat potensial untuk membelajarkan anak. Membelajarkan anak menggunakan esensi bermain dikenal dengan bermain sambil belajar.8. BerceritaBercerita merupakan salah satu metode untuk mendidik anak. Berbagai nilai-nilai moral, pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita. Cerita ilmiah maupun fiksi yang disukai anak-anak dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan. Cerita dengan tokoh yang baik, kharismatik, dan heroik menjadi alat untuk mengembangkan sikap yang baik kepada anak-anak. Sebaliknya tokoh yang jelek, jahat, dan kejam mendidik anak untuk tidak berperilaku seperti itu karena pada umumnya tokoh jahat di akhir cerita akan kalah dan sengsara. Cerita tentang Kepahlawanan, heroisme, dan pemikiran yang cerdas dari para Pahlawan dapat mendidik anak agar kelak memiliki jiwa kepahlawanan. Jadi cerita amat potensial untuk mendidik anak, dan oleh karenanya guru anak usia dini sebaiknya pandai bercerita.
Friday, March 28, 2008

Teori Behaviorisme
TEORI BEHAVIORISME
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

tugas instrumen wawancara

1. Motif atau motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakan seseorang berprilaku baik matif primer atau motip sekunder. motip untuk siswa manusia butuh belajar untuk mempertahankan hidup, menjadi manusia yang berguna. ingin manusia berilmu karena dengan ilmu manusia dihargai. ingin menjadi manusia yang bermanfaat. ingin mengurangi kebodohan.
2. Potensi bawaan segala sesuatu yang dibawa sejak lahir yang merupakan hasil dari keturunan. setiap siswa itu berbeda-beda ada yang pinter sejak lahir ada yang sedang dan ada yang rendah ini bisa disebabkan oleh keturunan. tapi setiap siswa berhak memperoleh perlakuan yang sama apalagi untuk memperbaiki hidupnya walaupun dia termasuk siswa yang rendah kalau dia berusaha pasti bisa, karena pepatah mengatakan "sekeras-kerasnya batu kalau setiap hai ditetesi air pasti akan berlubang".pada intinya sabar karena allah menyukai orang-orang yang sabar.
3. pengaruh lingkungan belajar, setiap siswa mempunyai lingkungan untuk belajar ada yang positif ada juga yang negatif disini guru dan orang tua yang perperan penting karena lingkungan yang akan memperkembangkan wawasannya. banyak anak yang terjerumus keobat-obatan terlarang dikarenakan salah bergaul dan orang tua yang kurang memperhatikan.
4. keunikan pribadi, setiap siswa mempunyai keunikan berbeda-beda khasannya itulah kita bisa membedakan siswa yang satu dengan yang lain, keunikan ini menentukkan kualitas tindakan atau prilaku individu dalam interaksi dangan lingkungannya.

Selasa, 01 April 2008

MENINGKATKAN KEIMANAN SISWA

Masalah-masalah yang ada pada siswa kelas l SMP:
1. Anak-anak SMP cenderung imannya lagi labil
2. Anak anak SMP cenderung pemikirannya belum labil dan tak tau mana yang bener dan yang salah
3. Keimanan dan ketakwaannya belum sepenuh hatinya
4. Orang tua sering setres menghadapi anaknya yang usia menginjak dewasa
5. Anak usia remaja lebih senang bermain dari pada belajar dan shalat
6. Guru sering kewalahan melihat anak didiknya yang menginjak dewasa sikap yang brutal
7. Orang tua disni sangat berperan penting agar anaknya tidak salah langkah
8. Guru jangan menyerah untuk memberika pengertian pentingnya belajar dan takwa kepada allah
Pada usia remaja usia pada kelas SMP l anak-anak masih stabil dalam ketakwaannya kepada alla. Disini sangat penting peranan orang tua dalam mendidik dan meningkatkan ketakwaannya kepada allah. Dan sebagai guru penting anak diberi pemahaman pentingnya keimanan. Dan hubungan manusia dengan allah. Dan kita sebagai manusia yang menganut agama menurut keyakinan kita harus yakin dan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Seorang anak harus belajar menjalankan ibadah secara konsekwen. Disini dibutuhkan peranan orang tua dan guru. Jadi pada intinya seorang anak yang usia yang menginjak dewasa masih labil dalam menjalankan kehidupannya. Dan sangat penting anak disuruh beradptasi dengan lingkungannya.